CERPEN KARYA PUTU WIJAYA
1. “AMI, batalkan kepergianmu ke Jogja,” kata Amat. Ami terkejut. “Bapak kok ngomong begitu?” “Sudah baca koran?” “Sudah!” “Korban sudah tambah banyak. Kemungkinan ada gempa susulan! Makanya jangan ke situ!” “Lho kenapa? Bapak mengira saya takut? Hah! Kenapa takut! Menolong saudara-saudara kita yang kena bencana itu bukan perbuatan tercela, kenapa harus takut!” “Bukan kamu, aku, Bapakmu ini yang takut!” “O jadi Bapak yang takut!” “Ya!” “Jadi Bapak maunya saya terus tinggal di rumah saja, karena saya perempuan?
Masak di dapur, mencuci, meladeni suami? Kuno Pak!” “Ami!” “Sorry Pak! Itu bukan hanya kuno tapi primitif! Perempuan sekarang tidak seperti perempuan-perempuan di zaman ibu. Kami sekarang bisa melakukan apa saja yang dilakukan laki-laki. Perempuan sekarang sanggup dan berani tidak seperti di zaman Bapak, kami bukan perempuan yang hanya jadi pajangan dan budak dalam rumah tangga! Saya tetap akan berangkat atas nama solidaritas kemanusiaan. Walaupun kita tidak ada hubungan saudara! Walaupun kita berbeda kepentingan, bahkan walaupun kita berbeda agama! Di dalam suka dan duka kita harus tetap bersatu! Kami tidak mau mengulangi cara berpikir kaum tua yang hanya mementingkan golongan sendiri, partai sendiri, bahkan agama sendiri! Kita harus bersatu! Kalau Bapak tidak setuju terserah! Kalau Bapak tidak mau memberi uang sangu, biarin! Simpan saja duit Bapak! Ami akan berusaha sendiri, kalau perlu jalan kaki!” 2.Amat tercengang, Ami kelihatan marah sekali. Masih banyak yang mau disemburkannya, tapi Bu Amat keburu muncul melerai. “Sudah, sudah, Ami, kamu boleh berangkat. Jangan dengarkan kata Bapak. Bapakmu itu memang kuno. Kalau Bapak tidak mau ngasih ongkos, biar Ibu yang menanggung. Sudah tenang!” “Tapi Bapak harus mengerti!” “Sudah Ami, kalau Bapak tidak mengerti nanti Ibu yang jelaskan. Sudah, kamu berangkat ke kampus dulu!” 3. Dengan menghapus air mata kekesalannya yang mendadak keluar, karena terharu oleh dukungan ibunya, Ami sambil menyeret rasa kesal. Bu Amat mengantarkan Ami sampai ke pintu pagar dan menepuk-nepuk pundaknya. Amat hanya bisa memandang. Ia kaget, karena dibentak oleh anak perempuannya yang begitu ia sayangi. 4. Lama Amat termenung. Ketika Bu Amat masuk, Amat masih tercenung. “Ami sekarang sudah dewasa, pak,” kata Bu Amat lembut,” kalau bicara hati-hati. Kalau melarang, juga jangan membentak seperti waktu dia masih kecil waktu kecil Ada caranya!” Amat menggeleng. “Aku tidak melarang. Aku bangga dia punya kemauan sendiri untuk pergi ke Jogja membantu mereka yang terkena bencana di sana. Itu tanda hatinya mulia.” “Kalau begitu kenapa dilarang?” Amat berpikir. “Teman-teman Ami semuanya ikut. Jadi izinkanlah Ami berangkat, Pak. Jangan dihalang-halangi lagi. Kalau sampai Ami tidak ikut dia akan malu. Nanti dikira dia penakut atau tidak punya kepedulian kepada sesama. Sudah izinkan saja, Pak.” “Lho, aku tidak melarang, Bu. Menolong itu perbuatan yang terpuji. Sudah aku bilang, aku bangga, ketika mendengar dia mau berangkat ke Jogja. Tapi…..” “Sudahlah, pak. Jangan khawatir soal biaya. Ambil saja uang dari tabungan. Kalau kita ikhlas, nanti pasti akan ada rezeki lain untuk membeli mobil. Berbuat baik itu mendatangkan pahala.” Amat menatap istrinya. “Apa?” “Berbuat buat baik itu besar pahalanya. Kalau kita relakan uang tabungan untuk menolong orang, nanti datangnya berlipat ganda. Bahkan kalau uang tabungan masih kurang, jangan takut, cincin berlianku tadi pagi sudah dijual biar Ami tetap bisa berangkat.” Amat terkejut. “Itu dia yang tidak aku suka!” bentak Amat tiba-tiba keras. ”Jangan berangkat ke Jogja mau menolong saudara-saudara yang terkena bencana, karena harapan akan mendapatkan pahala! Itu namanya dagang! Kalau umpannya besar, hasilnya besar? Memangnya mancing! Tidak! Apalagi kalau Ami berangkat itu karena malu sebab teman-temannya semua mau berangkat. Itu alasan yang salah. Jangan berangkat ke Jogja hanya karena mau menjadi pahlawan! Batalkan niat buruk itu! Kalau mau jadi pahlawan, jadi pahlawan dulu di rumah! Tanpa kemampuan apa-apa kok mau datang- datang ke tempat bencana, paling banter nanti di sana malah ngerepotin orang! Mau jadi turis apa? Mau cari publikasi? Tidak! Ami tidak boleh berangkat ke Jogja!” 5. Bu Amat tercengang. Belum pernah ia melihat suaminya marah seperti itu. Bahkan ketika dulu bekas pacarnya datang mau coba-coba menggoda, Pak Amat masih bisa menguasai diri dan malahan tersenyum. Akibatnya bekas pacar Bu Amat yang mau mengail di air keruh itu, jadi malu hati dan berbalik pergi dengan ekor yang dilepit. 6. “Bapakmu itu mungkin sudah mulai tua, jadi pikirannya tidak lagi jernih seperti dulu,” kata Bu Amat kepada Ami kemudian. “Tapi Ibu tidak akan menyerah. Ibu tahu bagaimana caranya supaya Kakek Tua itu memberi kamu izin pergi. Untuk sementara, jangan banyak bicara dulu, Ami. Diam saja, seperti menurut. Nah, kalau sudah didiamkan begitu, bapakmu itu akan berpikir. Nanti dia akan sedih sendiri, lalu mengalah. Ibu sudah hapal kebiasaannya. Jadi sabar saja dulu.” Ami termenung. “Jadi Bapak melarang Ami pergi, karena menyangka itu semua didorong oleh keinginan dapat pahala?” “Ya. Tapi itu tidak usah didengarkan!” “Karena Ami malu diejek penakut oleh teman-teman?” “Sudah jangan pikirkan itu, Ami. Bapakmu itu memang pintar cari alasan untuk melarang. Dulu waktu melarang Ibu yang mau bekerja jadi sekretaris, bapakmu itu juga pinter sekali. Aku bukannya melarang, katanya, aku hanya malu sebagai lelaki membiarkan istriku sampai banting tulang, padahal aku masih sanggup bekerja. Akibatnya Ibu juga tidak enak, lalu batal. Coba kalau dulu Ibu terus jadi sekretaris, barangkali sekarang sudah jadi direktur dan bisa membeli mobil seperti yang dicita-citkan Bapak kamu itu. Sekarang dia baru menyesal.” Ami mengerling ibunya. “Menjadi sekeretaris siapa?” “Itu, Bapak yang belum lama ini datang berkunjung ke mari membawa kue tart.” “O bekas pacar Ibu itu?” Bu Amat tertawa tersipu-sipu. “Ya dulu memang pernah pacaran, tapi kan sudah putus.” Ami melotot. “Kalau Ami jadi Bapak, Ami juga akan berbuat seperti Bapak. Melarang Ibu jadi sekretarisnya, tapi alasannya bukan itu. Alasannya, karena Ibu genit!” “Ami!” Tanpa mempedulikan reaksi ibunya, Ami berdiri dari kursi lalu beranjak pergi, mencari Bapaknya yang ada di teras rumah. 7. Pak Amat yang sedang bengong di teras, cepat menoleh ketika Ami mendekat. “Bapak sudah menunggu kamu, Ami.” Ami heran. “Sini duduk dekat Bapak.” Tanpa membantah, Ami duduk dekat bapaknya. “Coba perhatikan pohon kembang sepatu di pagar itu.” Amat menunjuk sebatang pohon yang tumbuh di pagar. Nampak bunganya yang merah, penuh dan segar sekali. “Kemarin Bapak tak sengaja memperhatikan pohon itu. Itu pohon liar yang tumbuh tanpa diundang. Tak sengaja Bapak melihatnya kemarin. Tadinya mau mencabut supaya jangan mengundang ular, tapi karena tidak mengganggu, Bapak lalu bersihkan dan siram. Hari ini tiba-tiba dia berbunga.” 8. Ami tak menjawab. Ia merasa itu hanya sebagai pembukaan basa-basi untuk sesuatu yang lain. Benar saja. Kemudian Amat mengeluarkan sebuah amplop dari kantung bajunya yang kemudian diulurkannya kepada Ami. “Jangan kamu sangka Bapak tidak punya kepedulian sosial. Ini tabungan yang sudah Bapak kumpulkan selama 5 tahun untuk bisa mencicil modil bekas, Bapak tarik semuanya, biar untuk membiayai perjalananmu ke Jogja. Berangkatlah besok.” 9. Ami memandang amplop yang diulurkan itu, tapi tak menyambutnya. “Ini untukmu, Ami.” “Untuk Ami? Kenapa?” “Sebab Bapak telah bicara dengan Ibumu panjang lebar. Perkara mau beli mobil, kita tunda saja dulu. Kamu harus bantu dulu saudara-saudara kita yang menderita di Jogja.” “Tapi sebenarnya Ami berangkat ke sana bukan untuk membantu mereka. Itu alasan saja. Ami tidak punya keahlian apa-apa untuk menolong orang yang kena musibah. Lihat darah saja Ami sudah pusing.” “Tidak apa. Kamu pasti akan jadi berani nanti kalau sudah menghadapi kenyataan di lapangan. Pasti akan baik untuk kamu.” “Baik untuk saya, tapi mungkin tak baik buat mereka. Karena Ami menolong, pasti Ami akan dapat pahala. Tapi mereka? Mereka tak akan dapat pertolongan Ami, sebab sampai di sana Ami hanya akan jadi turis dan merepotkan. Bisa-bisa Ami malah sakit di situ dan menambah tanggungan Sultan.” “Itu kan omongan Bapak untuk menghalang-halangi kamu. Bapak sebenarnya hanya mau menguji. Apa tekadmu teguh atau hanya sekadar ikut-ikutan.” Tekad Ami tidak teguh, Pak. Ami ke sana hanya mau mengejar publikasi, Pak. Di samping itu, kalau tidak ke sana, Ami malu dikatain teman-teman penakut dan tidak punya komitmen sosial.” 10. Amat memandang Ami tajam. “Betul, Pak, Ami jujur.” “Jujur?” “Ya, Ami jujur.” Amat menggeleng. “Sudah jangan banyak cingcong, ambil uang ini! Bapak rela kok!” Amat meletakkan uang itu di tangan Ami. “Setidak-tidaknya kamu mewakili Bapak. Mewakili keluarga kita.” Ami menimang-nimang amplop yang tebal itu. Ia taksir sekitar 10 juta isinya. “Kalau memang Baoak rela, lebih baik uang ini disumbangkan. Besok bisa Ami antarkan ke dompet sumbangan yang dibuka di mana-mana.” “Jangan. Itu untuk biaya kamu ke Jogja.” “Akan lebih berguna kalau disumbangkan.” “Tidak. Untuk kamu!” “Tapi saya tidak jadi ke Yogja!” Amat terkejut. “Kenapa?” 11. Ami tersenyum, lalu menyerahkan dompet itu kembali pada Amat. “Setelah Ami renung-renungkan, alasan Ami ke Jogja memang bukan alasan kemanusiaan tetapi ikut-ikutan. Untuk apa! Penderitaan saudara-saudara kita di Jogja itu jauh lebih penting dari sekedar berita-berita selebriti, berita pejabat dan berita tokoh-tokoh masyarakat yang mempergunakan bencana Jogja untuk menambah popularitasnya. Ami tak pingin seperti mereka.” 12. Amat menerima dompet itu kembali, tetapi mukanya keruh. “Kamu mengecewakan Bapak, Ami.” “Kalau Bapak mau melihat keputusan Ami ini dari sudut lain, Bapak harusnya mengatakan Ami sudah membantu Bapak, karena tidak ikut mencemarkan bencana Jogja untuk kepentingan pribadi.” “Mencemarkan bagaimana maksudmu?” “Tidak mempergunakan bencana itu sebagai alat memuaskan diri sendiri.” “Memuaskan bagaimana?” “Seperti yang sudah Ami katakan tadi!” Amat memandang anaknya. “Kalau begitu kamu tidak mengerti apa yang Bapak ceritakan tadi tentang pohon kembang sepatu yang berbunga di pagar itu.” “Maksud Bapak?” “Apa kamu tidak merasakan, bagaimana pohon liar itu tiba-tiba berbunga mendadak, karena Bapak perhatikan dan sirami. Saudara-saudara kita di Jogja itu juga begitu. Bantuan tenda, obat-obatan, kendaraan, bahkan duit dan makanan, sudah mengalir berabrek-abrek dari berbagai jurusan, bahkan nanti mungkin berlebihan. Kalau kamu menyumbang seperak dua perak tidak ada gunanya. Tapi kalau kamu ke sana unjuk muka, bicara dengan mereka, langsung menolong mereka, meskipun hanya sekadar memegang kakinya, kamu akan membantu perasaan mereka. Mereka yang kehilangan dan mungkin sudah sudah habis saudaranya karena bencana itu, akan sadar bahwa ia masih memiliki saudara, meskipun tidak lahir dari satu orang tua, tidak satu suku bahkan bukan satu agama. Kehadiranmu akan mengobati luka hati mereka yang tidak akan bisa diobati oleh dokter, tidak bisa dipulihkan oleh makanan atau duit. 13. Amat menghampiri kembali Ami, lalu mengambil tangan Ami dan meletakkan amplop itu dalam genggaman tangan Ami. “Berangkat besok! Jangan bikin Bapak malu!” 14. Ami tak bisa menolak, juga tak bisa menjawab. Serangan itu begitu tiba-tiba. Amat menepuk-nepuk pundak anaknya, tersenyum, lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Ami bingung. “Kenapa?” tanya Bu Amat yang baru keluar dari dalam rumah. Ami menunjukkan amplop di tangannya. “Bapak mengusir supaya Ami ke Jogja besok.” “Apa?” “Bapak menyuruh Ami mewakili keluarga untuk menyampaikan solidaritas kita kepada saudara-saudara kita di Jogja, agar mereka terus ingat, bahwa mereka tidak sendirian. Kita selalu bersama-sama.” Bu Amat tercengang. “Jadi bapakmu setuju?” “Ya.” “Kenapa?” 15. Ami menarik napas dalam, lalu menunjuk pagar. “Kamu menunjuk apa?” “Ibu lihat pohon kembang sepatu di pagar itu?” “Ya.’ “Kata Bapak, itu pohon liar” “Ah kata siapa?” “Kata Bapak.” “Bapakmu itu memang tidak pernah lagi ngurus rumah sekarang. Itu Ibu yang menanam.” “O ya?” “Ya!” “Oke, tak apa. Tapi pohon itu tidak pernah berbunga kan?” “Ya. Ibu juga kesal!” “Kemarin, bapak melihat pohon itu. Dia bilang mau mencabutnya. Tapi kemudian bapak berubah pikiran, lalu membersihkan tanaman liar disekitarnya dan kemudian menyiraminya.” “O ya? Tumben, bapakmu dapat angin apa?” “Bapak juga tidak tahu. Bapak bilang tiba-tiba saja memperhatikan, lalu ingin menyiraminya. Dan begitu disiram, begitu mendapat perhatian bapak, tiba-tiba kembang sepatu itu berbunga sekarang. Lihat, bunganya bagus sekali kan?! Jdi kata bapak, perhatian itu adalah tenaga yang dahsyat yang dapat mengubah apa saja. Jadi kalau Ami berangkat ke Jogja, meskipun Ami tidak bisa menolong apa-apa nanti disana, kehadiran Ami saja akan membuktikan pada saudara-saudara kita itu, bahwa mereka tidak sendirian. Mereka masih punya saudara di seluruh Indonesia yang selalu akan mendampingi mereka setiap saat dalam suka dan duka. Bagus kan? Bagus sekali perumpamaan itu, kan, Bu?” Bu Amat takjub. “Bagus kan Bu?” Bu Amat mengangguk. “Ya.” “Dengan cerita itu, rasa takut Ami untuk berangkat ke Jogja jadi hilang. Ami sekarang berangkat tidak lagi kesana untuk mendapat pahala, bukan untuk mendapat publikasi, bukan juga untuk menjadi pahlawan, tapi hanya silaturahmi, karena itulah yang kita perlukan, sejak Bhineka Tunggal Ika banyak dilecehkan. Jadi Ami berangkat, Bu! Ami siap-siap dulu sekarang!” 16. Ami memeluk ibunya, mencium kedua pipinya, lau masuk ke rumah. Bu Amat bengong. Ia mendengar suara kopor yang jatuh dari lemari kemudian, mungkin Ami menariknya dengan tergesa-gesa. Ia Bingung. 17. Pak Amat keluar dari rumah sambil tersenyum.”Sekarang aku tidak cemas lagi,” bisik Amat. ”Anakmu itu tidak pergi dengan kepala besar untuk menjadi pahlawan, tapi hanya sekadar menunjukkan solidaritasnya saja. Dengan ketulusannya itu, ia pasti akan berguna di sana.” Bu Amat mengangguk. “Tapi tentang pohon kembam ribu jiwa yang hilang sia-sia tidak sanggup membelah hatiku yang beku. Tidak Ami!” kata Amat sambil merogoh kembali kantungnya dan mengeluarkan sebuah amplop yang tebal. “Amplop tadi hanya seperlima dari simpananku, ini empat perlima lagi, bawa semuanya ke Jogja, buktikan mereka tidak pernah sendirian. Aku sudah ditampar hari ini, aku hidup berdampingan dengan 250 juta saudara yang harus selalu kucintai!”***
Jakarta 29 Mei-3 Juni 2006 *) Cerpen ini dibacakan PUTU WIJAYA dalam acara amal untuk korban gempa Jogja di Hotel Ritz Jakarta, Jumat (2/6) malam. Dalam lelang cerpen itu terkumpul dana sekitar Rp 30 juta. Ditambah honor pemuatan di koran ini, dana tersebut akan disumbangkan ke korban gempa.
1. “AMI, batalkan kepergianmu ke Jogja,” kata Amat. Ami terkejut. “Bapak kok ngomong begitu?” “Sudah baca koran?” “Sudah!” “Korban sudah tambah banyak. Kemungkinan ada gempa susulan! Makanya jangan ke situ!” “Lho kenapa? Bapak mengira saya takut? Hah! Kenapa takut! Menolong saudara-saudara kita yang kena bencana itu bukan perbuatan tercela, kenapa harus takut!” “Bukan kamu, aku, Bapakmu ini yang takut!” “O jadi Bapak yang takut!” “Ya!” “Jadi Bapak maunya saya terus tinggal di rumah saja, karena saya perempuan?
Masak di dapur, mencuci, meladeni suami? Kuno Pak!” “Ami!” “Sorry Pak! Itu bukan hanya kuno tapi primitif! Perempuan sekarang tidak seperti perempuan-perempuan di zaman ibu. Kami sekarang bisa melakukan apa saja yang dilakukan laki-laki. Perempuan sekarang sanggup dan berani tidak seperti di zaman Bapak, kami bukan perempuan yang hanya jadi pajangan dan budak dalam rumah tangga! Saya tetap akan berangkat atas nama solidaritas kemanusiaan. Walaupun kita tidak ada hubungan saudara! Walaupun kita berbeda kepentingan, bahkan walaupun kita berbeda agama! Di dalam suka dan duka kita harus tetap bersatu! Kami tidak mau mengulangi cara berpikir kaum tua yang hanya mementingkan golongan sendiri, partai sendiri, bahkan agama sendiri! Kita harus bersatu! Kalau Bapak tidak setuju terserah! Kalau Bapak tidak mau memberi uang sangu, biarin! Simpan saja duit Bapak! Ami akan berusaha sendiri, kalau perlu jalan kaki!” 2.Amat tercengang, Ami kelihatan marah sekali. Masih banyak yang mau disemburkannya, tapi Bu Amat keburu muncul melerai. “Sudah, sudah, Ami, kamu boleh berangkat. Jangan dengarkan kata Bapak. Bapakmu itu memang kuno. Kalau Bapak tidak mau ngasih ongkos, biar Ibu yang menanggung. Sudah tenang!” “Tapi Bapak harus mengerti!” “Sudah Ami, kalau Bapak tidak mengerti nanti Ibu yang jelaskan. Sudah, kamu berangkat ke kampus dulu!” 3. Dengan menghapus air mata kekesalannya yang mendadak keluar, karena terharu oleh dukungan ibunya, Ami sambil menyeret rasa kesal. Bu Amat mengantarkan Ami sampai ke pintu pagar dan menepuk-nepuk pundaknya. Amat hanya bisa memandang. Ia kaget, karena dibentak oleh anak perempuannya yang begitu ia sayangi. 4. Lama Amat termenung. Ketika Bu Amat masuk, Amat masih tercenung. “Ami sekarang sudah dewasa, pak,” kata Bu Amat lembut,” kalau bicara hati-hati. Kalau melarang, juga jangan membentak seperti waktu dia masih kecil waktu kecil Ada caranya!” Amat menggeleng. “Aku tidak melarang. Aku bangga dia punya kemauan sendiri untuk pergi ke Jogja membantu mereka yang terkena bencana di sana. Itu tanda hatinya mulia.” “Kalau begitu kenapa dilarang?” Amat berpikir. “Teman-teman Ami semuanya ikut. Jadi izinkanlah Ami berangkat, Pak. Jangan dihalang-halangi lagi. Kalau sampai Ami tidak ikut dia akan malu. Nanti dikira dia penakut atau tidak punya kepedulian kepada sesama. Sudah izinkan saja, Pak.” “Lho, aku tidak melarang, Bu. Menolong itu perbuatan yang terpuji. Sudah aku bilang, aku bangga, ketika mendengar dia mau berangkat ke Jogja. Tapi…..” “Sudahlah, pak. Jangan khawatir soal biaya. Ambil saja uang dari tabungan. Kalau kita ikhlas, nanti pasti akan ada rezeki lain untuk membeli mobil. Berbuat baik itu mendatangkan pahala.” Amat menatap istrinya. “Apa?” “Berbuat buat baik itu besar pahalanya. Kalau kita relakan uang tabungan untuk menolong orang, nanti datangnya berlipat ganda. Bahkan kalau uang tabungan masih kurang, jangan takut, cincin berlianku tadi pagi sudah dijual biar Ami tetap bisa berangkat.” Amat terkejut. “Itu dia yang tidak aku suka!” bentak Amat tiba-tiba keras. ”Jangan berangkat ke Jogja mau menolong saudara-saudara yang terkena bencana, karena harapan akan mendapatkan pahala! Itu namanya dagang! Kalau umpannya besar, hasilnya besar? Memangnya mancing! Tidak! Apalagi kalau Ami berangkat itu karena malu sebab teman-temannya semua mau berangkat. Itu alasan yang salah. Jangan berangkat ke Jogja hanya karena mau menjadi pahlawan! Batalkan niat buruk itu! Kalau mau jadi pahlawan, jadi pahlawan dulu di rumah! Tanpa kemampuan apa-apa kok mau datang- datang ke tempat bencana, paling banter nanti di sana malah ngerepotin orang! Mau jadi turis apa? Mau cari publikasi? Tidak! Ami tidak boleh berangkat ke Jogja!” 5. Bu Amat tercengang. Belum pernah ia melihat suaminya marah seperti itu. Bahkan ketika dulu bekas pacarnya datang mau coba-coba menggoda, Pak Amat masih bisa menguasai diri dan malahan tersenyum. Akibatnya bekas pacar Bu Amat yang mau mengail di air keruh itu, jadi malu hati dan berbalik pergi dengan ekor yang dilepit. 6. “Bapakmu itu mungkin sudah mulai tua, jadi pikirannya tidak lagi jernih seperti dulu,” kata Bu Amat kepada Ami kemudian. “Tapi Ibu tidak akan menyerah. Ibu tahu bagaimana caranya supaya Kakek Tua itu memberi kamu izin pergi. Untuk sementara, jangan banyak bicara dulu, Ami. Diam saja, seperti menurut. Nah, kalau sudah didiamkan begitu, bapakmu itu akan berpikir. Nanti dia akan sedih sendiri, lalu mengalah. Ibu sudah hapal kebiasaannya. Jadi sabar saja dulu.” Ami termenung. “Jadi Bapak melarang Ami pergi, karena menyangka itu semua didorong oleh keinginan dapat pahala?” “Ya. Tapi itu tidak usah didengarkan!” “Karena Ami malu diejek penakut oleh teman-teman?” “Sudah jangan pikirkan itu, Ami. Bapakmu itu memang pintar cari alasan untuk melarang. Dulu waktu melarang Ibu yang mau bekerja jadi sekretaris, bapakmu itu juga pinter sekali. Aku bukannya melarang, katanya, aku hanya malu sebagai lelaki membiarkan istriku sampai banting tulang, padahal aku masih sanggup bekerja. Akibatnya Ibu juga tidak enak, lalu batal. Coba kalau dulu Ibu terus jadi sekretaris, barangkali sekarang sudah jadi direktur dan bisa membeli mobil seperti yang dicita-citkan Bapak kamu itu. Sekarang dia baru menyesal.” Ami mengerling ibunya. “Menjadi sekeretaris siapa?” “Itu, Bapak yang belum lama ini datang berkunjung ke mari membawa kue tart.” “O bekas pacar Ibu itu?” Bu Amat tertawa tersipu-sipu. “Ya dulu memang pernah pacaran, tapi kan sudah putus.” Ami melotot. “Kalau Ami jadi Bapak, Ami juga akan berbuat seperti Bapak. Melarang Ibu jadi sekretarisnya, tapi alasannya bukan itu. Alasannya, karena Ibu genit!” “Ami!” Tanpa mempedulikan reaksi ibunya, Ami berdiri dari kursi lalu beranjak pergi, mencari Bapaknya yang ada di teras rumah. 7. Pak Amat yang sedang bengong di teras, cepat menoleh ketika Ami mendekat. “Bapak sudah menunggu kamu, Ami.” Ami heran. “Sini duduk dekat Bapak.” Tanpa membantah, Ami duduk dekat bapaknya. “Coba perhatikan pohon kembang sepatu di pagar itu.” Amat menunjuk sebatang pohon yang tumbuh di pagar. Nampak bunganya yang merah, penuh dan segar sekali. “Kemarin Bapak tak sengaja memperhatikan pohon itu. Itu pohon liar yang tumbuh tanpa diundang. Tak sengaja Bapak melihatnya kemarin. Tadinya mau mencabut supaya jangan mengundang ular, tapi karena tidak mengganggu, Bapak lalu bersihkan dan siram. Hari ini tiba-tiba dia berbunga.” 8. Ami tak menjawab. Ia merasa itu hanya sebagai pembukaan basa-basi untuk sesuatu yang lain. Benar saja. Kemudian Amat mengeluarkan sebuah amplop dari kantung bajunya yang kemudian diulurkannya kepada Ami. “Jangan kamu sangka Bapak tidak punya kepedulian sosial. Ini tabungan yang sudah Bapak kumpulkan selama 5 tahun untuk bisa mencicil modil bekas, Bapak tarik semuanya, biar untuk membiayai perjalananmu ke Jogja. Berangkatlah besok.” 9. Ami memandang amplop yang diulurkan itu, tapi tak menyambutnya. “Ini untukmu, Ami.” “Untuk Ami? Kenapa?” “Sebab Bapak telah bicara dengan Ibumu panjang lebar. Perkara mau beli mobil, kita tunda saja dulu. Kamu harus bantu dulu saudara-saudara kita yang menderita di Jogja.” “Tapi sebenarnya Ami berangkat ke sana bukan untuk membantu mereka. Itu alasan saja. Ami tidak punya keahlian apa-apa untuk menolong orang yang kena musibah. Lihat darah saja Ami sudah pusing.” “Tidak apa. Kamu pasti akan jadi berani nanti kalau sudah menghadapi kenyataan di lapangan. Pasti akan baik untuk kamu.” “Baik untuk saya, tapi mungkin tak baik buat mereka. Karena Ami menolong, pasti Ami akan dapat pahala. Tapi mereka? Mereka tak akan dapat pertolongan Ami, sebab sampai di sana Ami hanya akan jadi turis dan merepotkan. Bisa-bisa Ami malah sakit di situ dan menambah tanggungan Sultan.” “Itu kan omongan Bapak untuk menghalang-halangi kamu. Bapak sebenarnya hanya mau menguji. Apa tekadmu teguh atau hanya sekadar ikut-ikutan.” Tekad Ami tidak teguh, Pak. Ami ke sana hanya mau mengejar publikasi, Pak. Di samping itu, kalau tidak ke sana, Ami malu dikatain teman-teman penakut dan tidak punya komitmen sosial.” 10. Amat memandang Ami tajam. “Betul, Pak, Ami jujur.” “Jujur?” “Ya, Ami jujur.” Amat menggeleng. “Sudah jangan banyak cingcong, ambil uang ini! Bapak rela kok!” Amat meletakkan uang itu di tangan Ami. “Setidak-tidaknya kamu mewakili Bapak. Mewakili keluarga kita.” Ami menimang-nimang amplop yang tebal itu. Ia taksir sekitar 10 juta isinya. “Kalau memang Baoak rela, lebih baik uang ini disumbangkan. Besok bisa Ami antarkan ke dompet sumbangan yang dibuka di mana-mana.” “Jangan. Itu untuk biaya kamu ke Jogja.” “Akan lebih berguna kalau disumbangkan.” “Tidak. Untuk kamu!” “Tapi saya tidak jadi ke Yogja!” Amat terkejut. “Kenapa?” 11. Ami tersenyum, lalu menyerahkan dompet itu kembali pada Amat. “Setelah Ami renung-renungkan, alasan Ami ke Jogja memang bukan alasan kemanusiaan tetapi ikut-ikutan. Untuk apa! Penderitaan saudara-saudara kita di Jogja itu jauh lebih penting dari sekedar berita-berita selebriti, berita pejabat dan berita tokoh-tokoh masyarakat yang mempergunakan bencana Jogja untuk menambah popularitasnya. Ami tak pingin seperti mereka.” 12. Amat menerima dompet itu kembali, tetapi mukanya keruh. “Kamu mengecewakan Bapak, Ami.” “Kalau Bapak mau melihat keputusan Ami ini dari sudut lain, Bapak harusnya mengatakan Ami sudah membantu Bapak, karena tidak ikut mencemarkan bencana Jogja untuk kepentingan pribadi.” “Mencemarkan bagaimana maksudmu?” “Tidak mempergunakan bencana itu sebagai alat memuaskan diri sendiri.” “Memuaskan bagaimana?” “Seperti yang sudah Ami katakan tadi!” Amat memandang anaknya. “Kalau begitu kamu tidak mengerti apa yang Bapak ceritakan tadi tentang pohon kembang sepatu yang berbunga di pagar itu.” “Maksud Bapak?” “Apa kamu tidak merasakan, bagaimana pohon liar itu tiba-tiba berbunga mendadak, karena Bapak perhatikan dan sirami. Saudara-saudara kita di Jogja itu juga begitu. Bantuan tenda, obat-obatan, kendaraan, bahkan duit dan makanan, sudah mengalir berabrek-abrek dari berbagai jurusan, bahkan nanti mungkin berlebihan. Kalau kamu menyumbang seperak dua perak tidak ada gunanya. Tapi kalau kamu ke sana unjuk muka, bicara dengan mereka, langsung menolong mereka, meskipun hanya sekadar memegang kakinya, kamu akan membantu perasaan mereka. Mereka yang kehilangan dan mungkin sudah sudah habis saudaranya karena bencana itu, akan sadar bahwa ia masih memiliki saudara, meskipun tidak lahir dari satu orang tua, tidak satu suku bahkan bukan satu agama. Kehadiranmu akan mengobati luka hati mereka yang tidak akan bisa diobati oleh dokter, tidak bisa dipulihkan oleh makanan atau duit. 13. Amat menghampiri kembali Ami, lalu mengambil tangan Ami dan meletakkan amplop itu dalam genggaman tangan Ami. “Berangkat besok! Jangan bikin Bapak malu!” 14. Ami tak bisa menolak, juga tak bisa menjawab. Serangan itu begitu tiba-tiba. Amat menepuk-nepuk pundak anaknya, tersenyum, lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Ami bingung. “Kenapa?” tanya Bu Amat yang baru keluar dari dalam rumah. Ami menunjukkan amplop di tangannya. “Bapak mengusir supaya Ami ke Jogja besok.” “Apa?” “Bapak menyuruh Ami mewakili keluarga untuk menyampaikan solidaritas kita kepada saudara-saudara kita di Jogja, agar mereka terus ingat, bahwa mereka tidak sendirian. Kita selalu bersama-sama.” Bu Amat tercengang. “Jadi bapakmu setuju?” “Ya.” “Kenapa?” 15. Ami menarik napas dalam, lalu menunjuk pagar. “Kamu menunjuk apa?” “Ibu lihat pohon kembang sepatu di pagar itu?” “Ya.’ “Kata Bapak, itu pohon liar” “Ah kata siapa?” “Kata Bapak.” “Bapakmu itu memang tidak pernah lagi ngurus rumah sekarang. Itu Ibu yang menanam.” “O ya?” “Ya!” “Oke, tak apa. Tapi pohon itu tidak pernah berbunga kan?” “Ya. Ibu juga kesal!” “Kemarin, bapak melihat pohon itu. Dia bilang mau mencabutnya. Tapi kemudian bapak berubah pikiran, lalu membersihkan tanaman liar disekitarnya dan kemudian menyiraminya.” “O ya? Tumben, bapakmu dapat angin apa?” “Bapak juga tidak tahu. Bapak bilang tiba-tiba saja memperhatikan, lalu ingin menyiraminya. Dan begitu disiram, begitu mendapat perhatian bapak, tiba-tiba kembang sepatu itu berbunga sekarang. Lihat, bunganya bagus sekali kan?! Jdi kata bapak, perhatian itu adalah tenaga yang dahsyat yang dapat mengubah apa saja. Jadi kalau Ami berangkat ke Jogja, meskipun Ami tidak bisa menolong apa-apa nanti disana, kehadiran Ami saja akan membuktikan pada saudara-saudara kita itu, bahwa mereka tidak sendirian. Mereka masih punya saudara di seluruh Indonesia yang selalu akan mendampingi mereka setiap saat dalam suka dan duka. Bagus kan? Bagus sekali perumpamaan itu, kan, Bu?” Bu Amat takjub. “Bagus kan Bu?” Bu Amat mengangguk. “Ya.” “Dengan cerita itu, rasa takut Ami untuk berangkat ke Jogja jadi hilang. Ami sekarang berangkat tidak lagi kesana untuk mendapat pahala, bukan untuk mendapat publikasi, bukan juga untuk menjadi pahlawan, tapi hanya silaturahmi, karena itulah yang kita perlukan, sejak Bhineka Tunggal Ika banyak dilecehkan. Jadi Ami berangkat, Bu! Ami siap-siap dulu sekarang!” 16. Ami memeluk ibunya, mencium kedua pipinya, lau masuk ke rumah. Bu Amat bengong. Ia mendengar suara kopor yang jatuh dari lemari kemudian, mungkin Ami menariknya dengan tergesa-gesa. Ia Bingung. 17. Pak Amat keluar dari rumah sambil tersenyum.”Sekarang aku tidak cemas lagi,” bisik Amat. ”Anakmu itu tidak pergi dengan kepala besar untuk menjadi pahlawan, tapi hanya sekadar menunjukkan solidaritasnya saja. Dengan ketulusannya itu, ia pasti akan berguna di sana.” Bu Amat mengangguk. “Tapi tentang pohon kembam ribu jiwa yang hilang sia-sia tidak sanggup membelah hatiku yang beku. Tidak Ami!” kata Amat sambil merogoh kembali kantungnya dan mengeluarkan sebuah amplop yang tebal. “Amplop tadi hanya seperlima dari simpananku, ini empat perlima lagi, bawa semuanya ke Jogja, buktikan mereka tidak pernah sendirian. Aku sudah ditampar hari ini, aku hidup berdampingan dengan 250 juta saudara yang harus selalu kucintai!”***
Jakarta 29 Mei-3 Juni 2006 *) Cerpen ini dibacakan PUTU WIJAYA dalam acara amal untuk korban gempa Jogja di Hotel Ritz Jakarta, Jumat (2/6) malam. Dalam lelang cerpen itu terkumpul dana sekitar Rp 30 juta. Ditambah honor pemuatan di koran ini, dana tersebut akan disumbangkan ke korban gempa.
0 Response to "Cerpen "JOGJA TERSEDU""
Posting Komentar