TAK SEPADAN
Aku kira: Beginilah nanti jadinya Kau kawin, beranak dan berbahagia Sedang aku mengembara serupa Ahasveros. Dikutuk sumpahi Eros Aku merangkaki dinding buta Tak satu pun juga pintu terbuka. Jadi baik juga kita padami Unggunan api ini Karena kau tidak ‘kan apa-apa Aku terpanggang tinggal rangka. Pebruari 1943
PENERIMAAN
Jika kau mau, kuterima kau kembali Dengan sepenuh hati Aku masih tetap sendiri Kutahu kau bukan yang dulu lagi Bak kembang sari sudah terbagi Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani Jika kau mau, kuterima kau kembali Tapi untukku sendiri Sedang dengan cermin aku enggan berbagi Maret 1943
HAMPA
Kepada Sri yang selalu sangsi Sepi di luar, sepi menekan-mendesak Lurus-kaku pohonan Tak bergerak Sampai ke puncak Sepi memagut Tak suatu kuasa-berani melepas diri Segala menanti. Menanti-menanti. Sepi. Dan ini menanti penghabisan mencekik Memberat-mencekung punda Udara bertuba Rontok-gugur segala. Setan bertempik Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.
SIA-SIA
Penghabisan kali itu kau datang Membawa karangan kembang Mawar merah dan melati putih: Darah dan suci. Kau tebarkan depanku Serta pandang yang mematikan: Untukmu. Sudah itu kita sama termangu Saling bertanya: Apakah ini? Cinta? Keduanya tak mengerti. Sehari itu kita bersama. Tak hamper menghampiri. Ah! Hatiku tak mau memberi Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
DOA
Kepada Pemeluk teguh Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut namaMu Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh cayaMu panas suci tinggal kerlip lilin di kelam sunyi Tuhanku aku hilang bentuk remuk Tuhanku aku mengembara di negeri asing Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tak bisa berpaling
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih engap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
KABAR DARI LAUT
Aku memang benar tolol ketika itu, Mau pula membikin hubungan dengan kau; Lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu, Berujuk kembali dengan tujuan biru. Di tubuhku ada luka sekarang, bertambah lebar juga, mengeluar darah, dibekas dulu kau cium napsu dan garang; lagi akupun sangat lemah serta menyerah. Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi. Pembatasan Cuma tambah menjatuhkan kenang. Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang. Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan memuji, Atau di antara mereka juga terdampar, Burung mati pagi hari di sisi sangkar?
Aku kira: Beginilah nanti jadinya Kau kawin, beranak dan berbahagia Sedang aku mengembara serupa Ahasveros. Dikutuk sumpahi Eros Aku merangkaki dinding buta Tak satu pun juga pintu terbuka. Jadi baik juga kita padami Unggunan api ini Karena kau tidak ‘kan apa-apa Aku terpanggang tinggal rangka. Pebruari 1943
PENERIMAAN
Jika kau mau, kuterima kau kembali Dengan sepenuh hati Aku masih tetap sendiri Kutahu kau bukan yang dulu lagi Bak kembang sari sudah terbagi Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani Jika kau mau, kuterima kau kembali Tapi untukku sendiri Sedang dengan cermin aku enggan berbagi Maret 1943
HAMPA
Kepada Sri yang selalu sangsi Sepi di luar, sepi menekan-mendesak Lurus-kaku pohonan Tak bergerak Sampai ke puncak Sepi memagut Tak suatu kuasa-berani melepas diri Segala menanti. Menanti-menanti. Sepi. Dan ini menanti penghabisan mencekik Memberat-mencekung punda Udara bertuba Rontok-gugur segala. Setan bertempik Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.
SIA-SIA
Penghabisan kali itu kau datang Membawa karangan kembang Mawar merah dan melati putih: Darah dan suci. Kau tebarkan depanku Serta pandang yang mematikan: Untukmu. Sudah itu kita sama termangu Saling bertanya: Apakah ini? Cinta? Keduanya tak mengerti. Sehari itu kita bersama. Tak hamper menghampiri. Ah! Hatiku tak mau memberi Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
DOA
Kepada Pemeluk teguh Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut namaMu Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh cayaMu panas suci tinggal kerlip lilin di kelam sunyi Tuhanku aku hilang bentuk remuk Tuhanku aku mengembara di negeri asing Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tak bisa berpaling
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih engap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
KABAR DARI LAUT
Aku memang benar tolol ketika itu, Mau pula membikin hubungan dengan kau; Lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu, Berujuk kembali dengan tujuan biru. Di tubuhku ada luka sekarang, bertambah lebar juga, mengeluar darah, dibekas dulu kau cium napsu dan garang; lagi akupun sangat lemah serta menyerah. Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi. Pembatasan Cuma tambah menjatuhkan kenang. Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang. Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan memuji, Atau di antara mereka juga terdampar, Burung mati pagi hari di sisi sangkar?
0 Response to "Puisi-puisi Favorit Karya Chairil Anwar"
Posting Komentar