Realitas yang akan ia sampaikan diteropong dengan begitu gamblang
dengan menggunakan pendekatan multidisipliner. Sobary selalu berangkat
dari kesadaran dari masalah-masalah kemanusiaan yang di hadapi dalam
masyarakat kita. Kesadaran ini muncul dalam berbagai wujud keterlibatan.
Buku “Kang Sejo Melihat Tuhan” merupakan kumpulan artikel ari M.
Sobari yang pernah dimuat di berbagai majalah. Judul buku ini nampaknya
diambil dari judul salah satu artikelnya. Saya tulis di bawah ini
sekedar untuk mencicipi hidangan M. Sobari:
Kang Sejo Melihat Tuhan
Bukan salah saya kalau suatu hari saya ceramah agama di depan
sejumlah mahasiswa Monash yang, satu di antaranya, Islamnya menggebu.
Artinya, Islam serba berbau Arab. Jenggot mesti panjang. Ceramah mesti
merujuk ayat, atau Hadis. Lauk mesti halal meat. Dan, semangat mesti
ditujukan buat meng-Islam-kan orang Australia. Tanpa itu semua jelas
tidak Islami.
Saya pun dicap tidak Islami. Iman saya campur aduk dengan wayang.
Dus, kalau pakai kaca mata Geertz, seislam-islamnya saya, saya ini masih
Hindu. Memang salah saya, sebab ketika itu saya main ibarat: Gatutkaca
itu sufi. Ia satria-pandita. Tiap saat seperti tidur, padahal berzikir
qolbi. Jasad di bumi, roh menemui Tuhan. Ini turu lali, mripat turu, ati
tangi: mata tidur hati melek, seperti olah batin dalam dunia kaum sufi.
Biar masih muda, hidup Gatutkaca seimbang, satu kaki di dunia satu
lagi di akhirat. Mirip Nabi Daud: hari ini puasa, sehari esoknya
berbuka. Dan saya pun dibabat …
Juli tahun lalu saya dijuluki Gus Dur sebagai orang yang doanya
pendek. Bukan harfiah cuma berdoa sebentar. Maksudnya, tak banyak doa
yang saya hafal. Namun, yang tak banyak itu saya amalkan.
“Dan itu betul. Artinya, banyak ilmu ndak diamalkan buat apa?” kata
Pak Kiai sambil bergolek-golek di Hotel Sriwedari, Yogya. Apa yang lebih
indah dalam hidup ini, selain amal yang memperoleh pengakuan Romo Kiai?
Saya merasa hidup jadi kepenak, nikmat.
Dalam deretan Sufi, Al Adawiah disebut “raja.” Wanita ini hamba yang
total. Hidupnya buat cinta. Gemerlap dunia tak menarik berkat pesona
lain: getaran cinta ilahi. Pernah ia berkata, “Bila Kau ingin
menganugerahi aku nikmat duniawi, berikan itu pada musuh-musuh-Mu. Dan
bila ingin Kau limpahkan padaku nikmat surgawi, berikanlah pada
sahabat-sahabat-Mu. Bagiku, Kau cukup.”
Ini tentu berkat ke-”raja”-annya. Lumrah. Lain bila itu terjadi pada
Kang Sejo. Ia tukang pijit -maaf, Kang, saya sebut itu- tunanetra.
Kang Sejo pendek pula doanya. Bahasa Arab ia tak tahu. Doanya bahasa
Jawa: Gusti Allah ora sare (Allah tak pernah tidur): potongan ayat Kursi
itu. Zikir ia kuat. Soal ruwet apa pun yang dihadapi, wiridannya satu:
“Duh, Gusti, Engkau yang tak pernah tidur …” Cuma itu.
“Memang sederhana, wong hidup ini pun dasarnya juga sederhana,” katanya, sambil memijit saya.
Saya tertarik cara hidupnya. Saya belajar. Guru saya ya orang macam
ini, antara lain. Rumahnya di Klender. Kantornya, panti pijat itu, di
sekitar Blok M. Ketika saya tanya, apa yang dilakukannya di sela
memijit, dia bilang, “Zikir Duh, Gusti …” Di rumah, di jalan, di tempat
kerja, di mana pun, doanya ya Duh, Gusti … itu. Satu tapi jelas di
tangan.
“Berapa kali Duh Gusti dalam sehari?” tanya saya.
“Tidak saya hitung.”
“Lho, apa tak ada aturannya? Para santri kan dituntun kiai, baca ini sekian ribu, itu sekian ribu,” kata saya
“Monggo mawon (ya, terserah saja),” jawabnya. “Tuhan memberi kita rezeki tanpa hitungan, kok. Jadi, ibadah pun tanpa hitungan.”
“Sampeyan itu seperti wali, lo, Kang,” saya memuji.
“Monggo mawon. Ning (tapi) wali murid.” Dia lalu ketawa.
Diam-diam ia sudah naik haji. Langganan lama, seorang pejabat, mentraktirnya ke Tanah Suci tiga tahun yang lalu.
‘Senang sampeyan, Kang, sudah naik haji?”
“Itu kan rezeki. Dan rezeki datang dari sumber yang tak terduga,” katanya.
“Ayat menyebutkan itu, Kang.”
“Monggo mawon. Saya tidak tahu.”
Ketularan bau Arab, saya tanya kenapa doanya bahasa Jawa.
“Apa Tuhan tahunya cuma bahasa Arab?”
“Kalau sampeyan Dah Duh Gusti di bis apa penumpang lain …”
“Dalam hati, Mas. Tak perlu diucapkan.”
Ia, konon, pernah menolak zakat dari seorang tetangganya. Karena
disodor-sodori, ia menyebut, “Duh, Gusti, yang tak pernah tidur …”
Pemberi zakat itu, entah bagaimana, ketakutan. Ia mengaku uang itu
memang kurang halal. Ia minta maaf.
“Mengapa sampeyan tahu uang zakat itu haram”? tanya saya.
“Rumah saya tiba-tiba panas. Panaaaas sekali.”
“Kok sampeyan tahu panas itu akibat si uang haram?”
“Gusti Allah ora sare, Mas,” jawabnya.
Ya, saya mengerti, Kang Sejo. Ibarat berjalan, kau telah sampai.
Dalam kegelapan matamu kau telah melihatNya. Dan aku? Aku masih dalam
taraf terpesona. Terus-menerus.
Download di Novel "Kang Sejo Melihat Tuhan"
0 Response to "Kumpulan Essai "Kang Sejo Melihat Tuhan""
Posting Komentar